Fobia karena sekolah adalah sebuah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap
sekolah. Gejala ini bisa tiba-tiba saja terjadi dirasakan oleh anak-anak, baik
itu di waktu akan berangkat ke sekolah ataupun selepas liburan sekolah. Jenis
Fobia ini sewaktu-waktu dapat dialami oleh anak-anak sampai usia mereka 14-15
tahun disaat dirinya menghadapi suatu lingkungan baru atau mendapatkan
pengalaman yang buruk akan tempatnya bersekolah .
Jenis - Jenis Fobia Sekolah
Terdapat bermacam-macam jenis fobia sekolah. Umumnya para ahli menyimpulkan
bahwa terdapat empat jenis fobia sekolah yang ditandai dengan penolakan masuk
sekolah mulai dari yang ringan sampai dengan yang berat.
1. Fobia sekolah tahap awal atau initial school refusal behavior. Ini adalah
perilaku menolak masuk sekolah yang tiba-tiba dan berlangsung kurang dari satu
minggu. Penanganan yang cepat dari orang tua dapat segera menyembuhkan
ketakutannya.
2. Fobia sekolah yang lebih besar atau substantial school refusal behavior.
Ini adalah perilaku menolak sekolah yang telah berlangsung lebih dari satu
minggu. Untuk menyembuhkan ketakutannya, orang tua perlu bekerja lebih keras
lagi dengan melibatkan guru kelas, konselor anak atau guru BP di sekolah
tersebut. Kalau pada tahap ini ketakutan anak tidak diselesaikan, dikhawatirkan
akan meningkat ke tahap berikutnya, yaitu tahap akut.
3. Fobia sekolah tahap akut atau biasa disebut dengan istilah acute school
refusal behavior. Ini adalah perilaku penolakan yang sudah berlangsung lebih
lama lagi, yaitu dua minggu hingga satu tahun. Untuk menyembuhkannya, mungkin
dibutuhkan beberapa kali terapi dan mungkin sudah membutuhkan bantuan seorang
psikolog atau psikiater.
4. Tingkat fobia yang paling berat adalah chronic school refusal behavior.
Ini adalah perilaku menolak pergi ke sekolah yang sudah lebih dari setahun.
Tanda-tanda Fobia Sekolah
Berikut ini adalah tanda-tanda yang dialami anak-anak yang fobia sekolah :
1. Menolak berangkat ke sekolah.
2. Bersedia datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian ingin
pulang.
3. Pergi ke sekolah sambil menangis, menempel terus dengan orang tua atau
pengasuhnya, atau menunjukkan sikap rewel seperti menjerit-jerit di
kelas, agresif dan kasar terhadap anak lainnya atau pun menunjukkan sikap-sikap
melawan gurunya.
4. Menunjukkan ekspresi wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih agar
diijinkan pulang – dan ini berlangsung selama periode tertentu.
5. Tidak masuk sekolah selama beberapa hari.
6. Keluhan fisik sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala,
pusing, mual, muntah-muntah, gemetaran, keringatan, atau keluhan lainnya.
Mereka berharap dengan alasan sakit, maka ia diperbolehkan tinggal di rumah.
7. Keluhan lainnya di luar keluhan fisik dengan tujuan tidak usah berangkat
ke sekolah.
Faktor Penyebab
Dibawah ini ada beberapa penyebab Fobia sekolah yang biasa dilalami oleh
anak-anak menurut para ahli :
1. Separation Anxiety Penyebabnya antara lain karena anak mengalami separation
anxiety, yang pada umumnya dialami anak usia balita (18-24 bulan). Bagi
mereka, sekolah berarti pergi dari rumah untuk jangka waktu cukup lama. Mereka
tak hanya akan merasa rindu terhadap ayah ibu atau pun mainannya, tetapi juga
cemas menghadapi tantangan. Pemicu lainnya anak mengalami pengalaman negatif di
sekolah dan tekanan di dalam rumah, seperti ayah ibu sering bertengkar sehingga
menganggu konsentrasi belajar.
2. Pengalaman Negatif di Sekolah atau Lingkungan
Kemungkinan anak-anak malas masuk ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan
malu setelah dicemooh dan diejek teman-temanya di sekolah. Juga bisa saja
karena persepsinya akan guru yang galak, hal tersebutlah yang membuat anak-anak
mogok sekolah.
Atau, ada hal lain, seperti mobil jemputan yang tidak nyaman karena ngebut,
perjalanan yang panjang dan melelahkan, takut pergi sendiri ke sekolah, takut
sekolah setelah mendengar cerita seram di sekolah, takut menyeberang jalan,
takut bertemu seseorang yang “menyeramkan” di perjalanan, takut diperas oleh
kawanan anak nakal, atau takut melewati jalan yang sepi. Para ahli mengatakan,
bahwa masalah-masalah tersebut sudah dapat menimbulkan stress dan kecemasan
yang membuat anak menjadi bad mood, tegang, resah, dan mulai merengek tidak mau
sekolah.
Tidak semua anak bisa menceritakan ketakutannya itu karena mereka sendiri
terkadang masih sulit memahami, mengekspresikan dan memformulasikan
perasaannya. Belum lagi jika mereka takut dimarahi orang tua karena dianggap
alasannya itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Akhirnya yang tampak adalah
mogok sekolah, agresif, pemurung, kehilangan nafsu makan, keluhan-keluhan
fisik, dan tanda-tanda lain.
3. Problem Dalam Keluarga
Hal lain bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh
orangtua dan keluarga secara keseluruhan. Misalnya, anak sering mendengar
dan bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara orang tuanya, hal
ini menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar.
Anak merasa ikut bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami orang tuanya,
dan ingin melindungi, entah mamanya – atau papanya. Sakitnya salah seorang
anggota keluarga, entah orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak
enggan pergi ke sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan keluarganya
yang sakit ketika ia tidak ada di rumah.
Penanganan
Fobia sekolah bukanlah kelainan yang menetap. Dengan penanganan yang teratur
dan bijaksana, masalah fobia sekolah dapat disembuhkan. Berikut ini beberapa
pertimbangan yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk menangani anak yang
fobia sekolah.
Pertama, mengharuskan anak tetap bersekolah. Para psikolog berpendapat bahwa
manusia membutuhkan “kondisi terpaksa” untuk mengalahkan rasa takutnya. Maka
terapi yang terbaik untuk anak yang mengalami fobia sekolah adalah dengan tetap
memaksanya pergi ke sekolah setiap hari.
Kedua, buka komunikasi dengan anak-anak dan perhatikan keluhan-keluhan mereka.
Memperhatikan keluhan-keluhan anak dapat dilakukan melalui sikap listening dan
emphaty. Linstening berarti mendengarkan. Kata “mendengar” berbeda dengan
“mendengarkan”. Mendengarkan artinya mendengarkan dengan hati apa yang
diutarakan oleh anak, sehingga orang tua dapat memahami apa yang dipikirkan dan
dirasakan oleh anak dibalik kata-kata yang diucapkan. Sedangkan emphaty adalah
sikap rela menempatkan diri pada posisi anak. Dengan menempatkan diri pada
posisi anak, orang tua dapat merasakan apa yang dirasakan anak, mengerti apa
yang dimengerti anak, melihat apa yang dilihat anak dan berpikir seperti yang
dipikirkan anak. Dengan demikian orang tua dapat memberi perhatian dan
mengambil tindakan dengan bijaksana.
Ketiga, konsultasikan keluhan-keluhan anak ke ahli sesuai dengan bidangnya.
Kalau keluhan itu menyangkut masalah gangguan fisiknya, konsultasikan kepada
ahli medis atau dokter. Jika keluhan itu menyangkut masalah gangguan emosinya,
konsultasikan kepada psikolog atau konselor di sekolah. Jika gangguan itu
menyangkut masalah pelajaran atau hubungan dengan teman-teman di kelas,
konsultasikan dengan guru kelasnya.