Kamis, 27 September 2012
Jika Anak Mengalami Fobia Sekolah
Fobia karena sekolah adalah sebuah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah. Gejala ini bisa tiba-tiba saja terjadi dirasakan oleh anak-anak, baik itu di waktu akan berangkat ke sekolah ataupun selepas liburan sekolah. Jenis Fobia ini sewaktu-waktu dapat dialami oleh anak-anak sampai usia mereka 14-15 tahun disaat dirinya menghadapi suatu lingkungan baru atau mendapatkan pengalaman yang buruk akan tempatnya bersekolah .
Jenis - Jenis Fobia Sekolah
Terdapat bermacam-macam jenis fobia sekolah. Umumnya para ahli menyimpulkan bahwa terdapat empat jenis fobia sekolah yang ditandai dengan penolakan masuk sekolah mulai dari yang ringan sampai dengan yang berat.
1. Fobia sekolah tahap awal atau initial school refusal behavior. Ini adalah perilaku menolak masuk sekolah yang tiba-tiba dan berlangsung kurang dari satu minggu. Penanganan yang cepat dari orang tua dapat segera menyembuhkan ketakutannya.
2. Fobia sekolah yang lebih besar atau substantial school refusal behavior. Ini adalah perilaku menolak sekolah yang telah berlangsung lebih dari satu minggu. Untuk menyembuhkan ketakutannya, orang tua perlu bekerja lebih keras lagi dengan melibatkan guru kelas, konselor anak atau guru BP di sekolah tersebut. Kalau pada tahap ini ketakutan anak tidak diselesaikan, dikhawatirkan akan meningkat ke tahap berikutnya, yaitu tahap akut.
3. Fobia sekolah tahap akut atau biasa disebut dengan istilah acute school refusal behavior. Ini adalah perilaku penolakan yang sudah berlangsung lebih lama lagi, yaitu dua minggu hingga satu tahun. Untuk menyembuhkannya, mungkin dibutuhkan beberapa kali terapi dan mungkin sudah membutuhkan bantuan seorang psikolog atau psikiater.
4. Tingkat fobia yang paling berat adalah chronic school refusal behavior. Ini adalah perilaku menolak pergi ke sekolah yang sudah lebih dari setahun.
Tanda-tanda Fobia Sekolah
Berikut ini adalah tanda-tanda yang dialami anak-anak yang fobia sekolah :
1. Menolak berangkat ke sekolah.
2. Bersedia datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian ingin pulang.
3. Pergi ke sekolah sambil menangis, menempel terus dengan orang tua atau pengasuhnya, atau menunjukkan sikap rewel seperti menjerit-jerit di kelas, agresif dan kasar terhadap anak lainnya atau pun menunjukkan sikap-sikap melawan gurunya.
4. Menunjukkan ekspresi wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih agar diijinkan pulang – dan ini berlangsung selama periode tertentu.
5. Tidak masuk sekolah selama beberapa hari.
6. Keluhan fisik sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala, pusing, mual, muntah-muntah, gemetaran, keringatan, atau keluhan lainnya. Mereka berharap dengan alasan sakit, maka ia diperbolehkan tinggal di rumah.
7. Keluhan lainnya di luar keluhan fisik dengan tujuan tidak usah berangkat ke sekolah.
Faktor Penyebab
Dibawah ini ada beberapa penyebab Fobia sekolah yang biasa dilalami oleh anak-anak menurut para ahli :
1. Separation Anxiety Penyebabnya antara lain karena anak mengalami separation anxiety, yang pada umumnya dialami anak usia balita (18-24 bulan). Bagi mereka, sekolah berarti pergi dari rumah untuk jangka waktu cukup lama. Mereka tak hanya akan merasa rindu terhadap ayah ibu atau pun mainannya, tetapi juga cemas menghadapi tantangan. Pemicu lainnya anak mengalami pengalaman negatif di sekolah dan tekanan di dalam rumah, seperti ayah ibu sering bertengkar sehingga menganggu konsentrasi belajar.
2. Pengalaman Negatif di Sekolah atau Lingkungan
Kemungkinan anak-anak malas masuk ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah dicemooh dan diejek teman-temanya di sekolah. Juga bisa saja karena persepsinya akan guru yang galak, hal tersebutlah yang membuat anak-anak mogok sekolah.
Atau, ada hal lain, seperti mobil jemputan yang tidak nyaman karena ngebut, perjalanan yang panjang dan melelahkan, takut pergi sendiri ke sekolah, takut sekolah setelah mendengar cerita seram di sekolah, takut menyeberang jalan, takut bertemu seseorang yang “menyeramkan” di perjalanan, takut diperas oleh kawanan anak nakal, atau takut melewati jalan yang sepi. Para ahli mengatakan, bahwa masalah-masalah tersebut sudah dapat menimbulkan stress dan kecemasan yang membuat anak menjadi bad mood, tegang, resah, dan mulai merengek tidak mau sekolah.
Tidak semua anak bisa menceritakan ketakutannya itu karena mereka sendiri terkadang masih sulit memahami, mengekspresikan dan memformulasikan perasaannya. Belum lagi jika mereka takut dimarahi orang tua karena dianggap alasannya itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Akhirnya yang tampak adalah mogok sekolah, agresif, pemurung, kehilangan nafsu makan, keluhan-keluhan fisik, dan tanda-tanda lain.
3. Problem Dalam Keluarga
Hal lain bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh orangtua dan keluarga secara keseluruhan. Misalnya, anak sering mendengar dan bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara orang tuanya, hal ini menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar. Anak merasa ikut bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami orang tuanya, dan ingin melindungi, entah mamanya – atau papanya. Sakitnya salah seorang anggota keluarga, entah orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak enggan pergi ke sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan keluarganya yang sakit ketika ia tidak ada di rumah.
Penanganan
Fobia sekolah bukanlah kelainan yang menetap. Dengan penanganan yang teratur dan bijaksana, masalah fobia sekolah dapat disembuhkan. Berikut ini beberapa pertimbangan yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk menangani anak yang fobia sekolah.
Pertama, mengharuskan anak tetap bersekolah. Para psikolog berpendapat bahwa manusia membutuhkan “kondisi terpaksa” untuk mengalahkan rasa takutnya. Maka terapi yang terbaik untuk anak yang mengalami fobia sekolah adalah dengan tetap memaksanya pergi ke sekolah setiap hari.
Kedua, buka komunikasi dengan anak-anak dan perhatikan keluhan-keluhan mereka. Memperhatikan keluhan-keluhan anak dapat dilakukan melalui sikap listening dan emphaty. Linstening berarti mendengarkan. Kata “mendengar” berbeda dengan “mendengarkan”. Mendengarkan artinya mendengarkan dengan hati apa yang diutarakan oleh anak, sehingga orang tua dapat memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh anak dibalik kata-kata yang diucapkan. Sedangkan emphaty adalah sikap rela menempatkan diri pada posisi anak. Dengan menempatkan diri pada posisi anak, orang tua dapat merasakan apa yang dirasakan anak, mengerti apa yang dimengerti anak, melihat apa yang dilihat anak dan berpikir seperti yang dipikirkan anak. Dengan demikian orang tua dapat memberi perhatian dan mengambil tindakan dengan bijaksana.
Ketiga, konsultasikan keluhan-keluhan anak ke ahli sesuai dengan bidangnya. Kalau keluhan itu menyangkut masalah gangguan fisiknya, konsultasikan kepada ahli medis atau dokter. Jika keluhan itu menyangkut masalah gangguan emosinya, konsultasikan kepada psikolog atau konselor di sekolah. Jika gangguan itu menyangkut masalah pelajaran atau hubungan dengan teman-teman di kelas, konsultasikan dengan guru kelasnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar